Wasiat
Rasulullah Untuk Umatnya Di Akhir Zaman
“Aku wasiatkan kepada kalian bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Dan barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru ( bid‘ah) itu sesat.” (HR. Abu Dawud no. 3991)
Kandungan Hadits
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya :
“Berilah nasihat kepada mereka dan katakanlah kepada mereka ucapan yang bisa dipahami, mengena dan menancap di jiwa-jiwa mereka.” (An Nisa’: 63)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki sifat selalu memberikan bimbingan kepada jalan yang lurus terhadap siapa saja dari kalangan umatnya, sehingga ketika para sahabatnya meminta agar beliau memberikan nasihat maka beliau pun memenuhinya diiringi dengan hikmah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika menyampaikan nasihat senantiasa memilih kata-kata yang tepat, lafadz yang indah, mengena di hati dan menancap dengan dalam. Beliau tidak menyampaikan nasihat dengan kalimat yang panjang lagi bertele-tele, namun cukup dengan kalimat yang ringkas namun mencakup dan dimengerti. Karena itulah beliau dikenal oleh para sahabatnya sebagai orang yang memiliki jawami`ul kalim (perkataan yang ringkas namun padat). Sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Aku diutus dengan jawami‘ul kalim.” (HR. Al Bukhari no. 2977 dan Muslim no. 523)
‘Ammar bin Yasir radliallahu anhu pernah menyampaikan khutbah dengan ringkas dan dipenuhi dengan kata-kata yang tepat, ibarat yang indah dan menancap di hati. Seusai khutbah, ada seseorang yang menegurnya. Maka ‘Ammar pun menanggapi dengan jawaban yang tepat: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan ringkasnya khutbahnya merupakan tanda kefaqihannya. Karena itu panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah khutbah. Sesungguhnya di antara penyampaian dan ucapan ada yang membuat orang tersihir.” (HR. Muslim no. 869)
Nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika itu sangatlah menancap di hati para sahabatnya hingga hati mereka bergetar dan air mata mereka pun berlinang karenanya. Inilah sifat kaum mukminin tatkala mendengar nasihat dari Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Hanyalah yang dikatakan orang-orang beriman itu adalah mereka yang ketika disebut nama Allah bergetar hati-hati mereka.” (Al Anfal: 2)
“Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau akan melihat mereka berlinangan air mata karena apa yang mereka ketahui dari kebenaran.” (Al Maidah: 83)
Demikianlah nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang seolah-olah beliau akan pergi meninggalkan mereka dengan memberikan nasihat perpisahan. Sebagaimana yang telah diketahui, orang yang akan pergi jauh tidak akan meninggalkan sesuatu yang penting kecuali disampaikan dan dipesankannya. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/366, ‘Aunul Ma`bud, 12/234).
Kandungan Wasiat Penting Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
Setelah mendengar nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para sahabat pun khawatir mereka tidak akan bertemu lagi dengan Rasulullah setelahnya, sehingga untuk menyempurnakan nasihat yang ada, mereka meminta wasiat beliau, seraya berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini nasihat orang yang akan berpisah, karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun memberikan wasiat, di antaranya:
1. Wasiat untuk Takwa kepada Allah
Takwa merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala perkara. Seluruh seruan kepada pintu kebaikan maupun larangan kepada kejelekan terkumpul dalam kalimat takwa ini.
Takwa ini pula merupakan wasiat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu maupun yang belakangan, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberikan Al Kitab sebelummu dan juga kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (An Nisa: 131)
Kita diperintah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk berbekal dengannya sebagaimana firman-Nya:
“Berbekallah kalian, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al Baqarah: 197)
Oleh karena itu terkumpul dalam takwa ini kebaikan dunia dan akhirat.
2. Wasiat untuk Mendengar dan Taat
Yang dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin, karena taat kepada mereka akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dengan mentaati mereka akan baiklah kehidupan orang-orang yang dipimpin (rakyat) dan menjadi amanlah negeri, di samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.
Hal ini merupakan kewajiban agama karena Allah telah berfirman:
“Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada pemimpin di antara kalian.” (An Nisa’: 59)
Kewajiban mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika yang menjadi pemimpin itu seorang budak sekalipun. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berpesan: “Tetaplah kalian mendengar dan taat sekalipun yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyah (Ethopia) yang rambutnya seperti kismis.” (HR. Al Bukhari dari Anas bin Malik no. 7142 dan Muslim dari Abu Dzarr no. 648)
Al Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah menyatakan bahwa sebagian ulama berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin, akan tetapi penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar permisalan walaupun tidak mungkin terjadi, sama halnya dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun besarnya hanya seperti sarang burung maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia sebagai masjid, akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan.”
Dimungkinkan pula di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin mengabarkan rusaknya perkara apabila diserahkan urusan kepada selain ahlinya, sampai akhirnya kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak (yang dia bukan ahlinya). Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan itu terjadi, tetaplah kalian mendengar dan taat (dalam rangka menolak kemudharatan yang lebih besar walaupun) terpaksa menempuh kemudharatan yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada, dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin. Yang mana apabila membangkang kepadanya akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.” (Syarhul Arba’in An Nawawiyyah, hal. 75)
Tentunya ketaatan kepada pemimpin itu sebatas dalam perkara yang ma‘ruf (kebaikan), tanpa melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara kebaikan.” (HR. Al Bukhari no. 4340 dan Muslim no. 1840)
3. Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan Sunnah
Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Siapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigit/pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.”
Ini merupakan salah satu tanda di antara tanda-tanda kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, di mana beliau mengabarkan kepada para sahabatnya tentang perkara yang akan datang sepeninggalnya, yakni akan terjadi perselisihan yang banyak di kalangan umat beliau. Hal ini sesuai dengan pengabaran beliau bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 70 lebih golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu yang selamat yaitu mereka yang berpegang dengan apa yang dipegangi oleh Rasulullah dan para sahabatnya. (Shahih Sunan At Tirmidzi, no.2129)
Karena itulah, sebagai bahtera penyelamat dari gelombang perselisihan dan perpecahan ini adalah berpegang teguh dengan sunnah beliau dan para Al Khulafa’ Ar Rasyidin. Saking kuatnya keharusan berpegang tersebut hingga diibaratkan seperti menggigit dengan geraham (Jami’ul ‘Ulum, 2/126). Ditambahkan oleh Syaikhul Islam bahwa dikhususkannya penyebutan geraham dalam hadits ini karena gigitan gigi geraham ini sangat kokoh. (Majmu` Fatawa, 22/225).
Kata Al Imam As Sindi: “Hal ini menunjukkan keharusan untuk bersabar terhadap kepayahan yang menimpanya di jalan Allah, sebagaimana yang harus dihadapi orang yang sakit terhadap derita yang menimpanya dari sakitnya.” (Syarah Ibnu Majah, Al Imam As Sindi).
Adapun sunnah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini adalah jalan hidup beliau yang lurus dan jelas. (Syarhul Arba’in, hal. 75).
Selain mengikuti Sunnah beliau, diperintahkan pula setelahnya untuk memegangi sunnahnya Al Khulafa’ Ar Rasyidin dan mereka yang dimaksud di sini adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radliyallahu ‘anhum, kata Ibnu Daqiqil `Ied. Para khalifah ini disifatkan dengan (Ar Rasyidin) karena mereka mengetahui, mengenali kebenaran dan memutuskan dengannya. Mereka adalah (Al Mahdiyyin) karena Allah telah memberi petunjuk mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut. (Syarhul Arba’in, hal. 75, Jami`ul ‘Ulum, 1/127)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggandengkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan Sunnah beliau karena para khalifah ini tatkala menetapkan sunnah bisa jadi mengikuti Sunnah Nabi itu sendiri, dan bisa pula mereka mengikuti apa yang mereka pahami dari Sunnah Nabi secara global dan rinci, yang mana perkara tersebut tersembunyi bagi yang lainnya. (Al I’tisham, 1/118)
Al Imam Asy Syaukani dalam Al Fathur Rabbani mengatakan: “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, sehingga seakan-akan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Tempuhlah jalanku dan jalannya Al Khulafa’ Ar Rasyidin’. Jalannya Al Khulafa’ Ar Rasyidin di sini sama dengan jalannya Rasulullah karena mereka merupakan orang yang paling bersemangat dalam berpegang dengan Sunnah beliau dan mengamalkannya dalam segala perkara. Bagaimana pun keadaannya, mereka sangatlah berhati-hati dan menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke dalam perkara yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sekalipun dalam perkara yang terbilang kecil, terlebih lagi dalam perkara yang besar.”
Beliau kemudian melanjutkan: “Minimal dari faidah hadits ini adalah ra`yu (pendapat) yang bersumber dari mereka adalah lebih utama dari pendapat orang selain mereka, sekalipun ternyata setelah ditinjau kembali hal itu merupakan Sunnah Rasulullah, dan juga lebih baik daripada tidak ada dalil.” (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/367)
4 Wasiat untuk Berhati-hati dari Bid‘ah
Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:“Hati-hati kalian dari perkara-perkara baru”, merupakan peringatan kepada umat beliau dari perkara baru yang diada-adakan lalu disandarkan kepada agama sementara perkara tersebut tidak ada asalnya sama sekali di dalam syariat ini. Dan beliau tekankan lagi peringatan beliau ini dengan sabdanya: “ karena setiap bid`ah itu sesat”.
Adapun ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian bid‘ah maka kembalinya hal tersebut kepada pengertian bid‘ah secara bahasa bukan bid‘ah menurut syariat. Seperti perkataan Umar radliallahu anhu ketika melihat kaum muslimin shalat tarawih berjamaah dipimpin seorang imam, ia berucap: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perbuatan ini.”
Shalat tarawih berjamaah ini bukanlah bid‘ah dalam pengertian syar‘i karena perbuatan ini telah ada asalnya dalam syariat, di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melakukannya bersama para sahabat selama beberapa malam dari malam-malam Ramadhan. Adapun Umar hanya menghidupkannya kembali setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak melanjutkan pelaksanaannya karena khawatir perkara tersebut akan diwajibkan kepada umat beliau, sementara mungkin ada di antara mereka yang tidak mampu melaksanakannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish shawaab
Penjelasan Riwayat Hadits
Al Hafidz Abu Nu‘aim berkata: “Hadits ini jayyid (bagus), termasuk hadits yang shahih dari periwayatan orang-orang Syam.” Beliau juga mengatakan: “Al Bukhari dan Muslim meninggalkan hadits ini (yakni tidak memuat dalam kitab shahih mereka) bukan karena mengingkarinya.”
Al Hakim menyatakan, Al Bukhari dan Muslim meninggalkan penyebutan hadits ini disebabkan anggapan yang keliru dari keduanya bahwa tidak ada seorang rawi pun yang meriwayatkan dari Khalid bin Ma‘dan kecuali Ats Tsaur bin Yazid, padahal sebenarnya ada perawi lain yang meriwayatkan dari Khalid seperti Buhair bin Sa‘ad, Muhammad bin Ibrahim At Taimi dan selain keduanya.
Namun pernyataan Al Hakim ini dijawab oleh Al Hafidz Ibnu Rajab: “Sebenarnya hal ini tidaklah seperti persangkaan Al Hakim. Adapun Al Bukhari dan Muslim tidak mengambil hadits ini karena hadits ini tidak memenuhi syarat mereka berdua di dalam kitab shahihnya, di mana Al Bukhari dan Muslim sama sekali tidak mengeluarkan dalam shahihnya riwayat dari Abdurrrahman bin Amr As Sulami dan dari Hujr Al Kala`i. Dan juga dua orang rawi yang disebut ini tidaklah terkenal (masyhur) dalam keilmuan dan periwayatan hadits.”
Adapun Abdurrahman As Sulami, salah seorang perawi dalam hadits ini, maka ia masturul hal (keadaannya tidak diketahui), walaupun telah meriwayatkan darinya jama‘ah (sekelompok orang) namun tidak ada seorang alim yang mu‘tabar (teranggap dan diakui keilmuannya) yang men-tsiqah-kannya (menganggapnya terpercaya). Ibnul Qaththan Al Fasi mendha’ifkan (melemahkan) hadits ini karena hal tersebut.
Demikian pula dengan Hujr bin Hujr Al Kala‘i, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Khalid bin Ma‘dan dan tidak ada seorang alim yang mu‘tabar yang men-tsiqah- kannya, sehingga ia dinyatakan majhulul ‘ain (rawi yang tidak dikenal). Berkata Ibnul Qaththan: “Orang ini tidak dikenal.” Namun sebagaimana kata Al Imam Al Hakim di atas, hadits ini diriwayatkan juga dari selain mereka berdua dan disebutkan jalan-jalannya yang saling menguatkan satu dengan lainnya oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum, maka hadits ini hasan. Penghasanan hadits ini dinyatakan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al Wadi‘i rahimahullah, walaupun ada sebagian ulama yang menshahihkannya, sehingga mereka bersepakat bahwa hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil atau argumen), kecuali Ibnul Qaththan Al Fasi yang mendha’ifkan hadits ini.
(As Sunnah Ibnu Abi Ashim, no. 27, Ash Shahihul Musnad, 2/71, Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 2/110, Mizanul I’tidal, 2/207, Tahdzibut Tahdzib, 2/188, 6/215).
Sumber : Merujuk pada tulisan Al Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsary, dengan judul asli “Nasehat Nan Penuh Kenangan”, Majalah Asy Syariah. Untuk membaca aslinya silahkan klik di http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=92
1.
Tiga perkara yang mesti dijauhi:
Telah
bersabda Nabi Muhammad SAW yang artinya:
- " Barang siapa yang bangun di waktu pagi sambil ber sungut-sungut karena kesusahan hidup, maka seolah-olah ia bersungut karena perbuatan Tuhannya ".
- Barang siapa menjadi sedih karena perkara perkara dunia berarti ia telah marah kepada Allah.
- Dan barang siapa merendahkan dirinya kepada orang kaya karena kekayaanya maka telah hilang dua pertiga agamanya.
2.
Empat perkara yang berharga dalam diri manusia:
Telah bersabda Nabi Muhammad SAW yang artinya:
Telah bersabda Nabi Muhammad SAW yang artinya:
"Ada empat macam yang berharga dalam diri manusia dan ia bisa hilang dengan empat sebab. Adapun yang berharga itu ialah akal, agama, malu dan amal soleh. Maka akal bisa hilang disebabkan marah. Agama bisa hilang disebabkan dengki.
Malu bisa hilang disebabkan tamak dan amal soleh bisa terhapus disebabkan suka menceritakan keburukan orang lain."
3.
Lima macam yang dicintai dan lima perkara yang dilupakan:
Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya:
Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya:
“Akan
datang satu masa pada umatku, ketika itu mereka mencintai lima macam dan
melupakan lima perkara yaitu:
1. Mereka mencintai dunia dan lupa akhirat.
2. Mereka mencintai kehidupan dan lupa pada kematian.
3. Mereka cinta pada istana dan lupa pada kuburan.
4. Mereka cinta harta dan lupa pada perhitungan di akhirat.
5. Dan mereka cinta kepada makhluk dan lupa kepada Allah.”
1. Mereka mencintai dunia dan lupa akhirat.
2. Mereka mencintai kehidupan dan lupa pada kematian.
3. Mereka cinta pada istana dan lupa pada kuburan.
4. Mereka cinta harta dan lupa pada perhitungan di akhirat.
5. Dan mereka cinta kepada makhluk dan lupa kepada Allah.”
4. Cantiknya iman dan amal soleh
Pernah diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:
“Ada dua macam yang tiada sesuatu yang lebih baik dari keduanya:
1. Beriman kepada Allah.
2. Memberi manfaat kepada muslimin.
Dan
ada dua macam yang tiada sesuatu yang lebih buruk dari keduanya:
1. Mensyirikkan Allah.
2. Menyakiti kaum muslimin.”
1. Mensyirikkan Allah.
2. Menyakiti kaum muslimin.”
Usman
Al Affan berkata:
“Perkara yang paling sia-sia itu ada sepuluh macam yaitu: orang alim yang tidak dapat dijadikan tempat bertanya, ilmu yang tidak diamalkan, pendapat benar yang tidak diterima, senjata yang tidak dipakai, masjid yang tidak digunakan untuk tempat solat, mushaf yang tidak dibaca, harta yang tidak diinfakkan, kuda yang tidak ditunggangi, pengetahuan tentang zuhud yang ada pada hati orang yang cinta dunia dan umur yang panjang yang tidak dipakai untuk bekal perjalanan menuju kampung akhirat.”
“Perkara yang paling sia-sia itu ada sepuluh macam yaitu: orang alim yang tidak dapat dijadikan tempat bertanya, ilmu yang tidak diamalkan, pendapat benar yang tidak diterima, senjata yang tidak dipakai, masjid yang tidak digunakan untuk tempat solat, mushaf yang tidak dibaca, harta yang tidak diinfakkan, kuda yang tidak ditunggangi, pengetahuan tentang zuhud yang ada pada hati orang yang cinta dunia dan umur yang panjang yang tidak dipakai untuk bekal perjalanan menuju kampung akhirat.”
Abu
Darda mengatakan,
Cukuplah
mengukur hinanya dunia, Sebab maksiat hanya ada di dunia.Dan tidak akan
mendapatkan keridhaan Allah kecuali dengan meninggalkan dunia dan berkata pula
orang arif, Dunia ini ibarat bangkai yang telah membusuk. Barang siapa
menghendaki itu, harus sabar bergaul dengan anjing-anjing
Sufyan
bin Uyainah berkata kepada ats-Tsauri,Berilah saya wasiat.
Jawab
ats-Tsauri, “Kurangi pergaulanmu dengan orang lain”.
Nah
bukankah telah diterangkan dalam hadist agar kita memperbanyak kenalan seperti
Hadist riwayat Hakim dari Sayyidina Anas ra: Perbanyaklah berkenalan dengan
orang mukmin.
Sebab pada setiap mukmin terdapat syafaat pada hari kiamat kelak.
Sebab pada setiap mukmin terdapat syafaat pada hari kiamat kelak.
Jawab
ats Tsauri,Ya.. tetapi engkau tdk akan menemukan kekecewaan kecuali dari
orang-orang yang engkau kenal.
Sufyan
bin Uyainah berkata,Hal itu aku benarkan
Gangguan Jin & Sihir (1) : Alasan-alasan Jin Untuk Merasuki Manusia, dan Cara Jin Menampakkan Diri Pada Manusia
Rasul yang mulia shalallahu alaihi wassalam pernah bersabda,“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku ujian yang lebih berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.” (HR. al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Demikianlah memang, jenis perempuan menempati peringkat pertama dari sekian kesenangan dunia yang sangat menggoda kaum Adam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada syahwat yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t menerangkan, “Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan tentang perkara yang dijadikan indah pada pandangan manusia dalam kehidupan dunia ini berupa berbagai macam kelezatan, dari jenis wanita, anak-anak, (dan lainnya). Allah Subhanahu wata’ala memulai dengan penyebutan wanita karena fitnah yang didapatkan dari mereka amat besar, sebagaimana disebutkan di dalam hadits.” (Tafsir Ibni Katsir, 2/15)
Hampir-hampir tidak ada lelaki yang dapat selamat dari fitnah yang dilihatnya di setiap tempat ini, apakah di jalan, di televisi, di internet, di majalah, di tempat kerja, di pasar, dan di tempat-tempat lain. Yang dilihat bukan wanita yang rapat menutup aurat bahkan sebaliknya mengumbar aurat. Kalaupun ada yang berusaha menutup aurat, namun jauh dari aturan busana muslimah yang syar’i dengan model kerudung dua warna atau yang diberi pernak-pernik dengan gelungan rambut yang diangkat tinggi di baliknya (model punuk unta, -red.), dan baju panjang sampai mata kaki dengan bordiran atau hiasan lain di sana-sini, misalnya. Sungguh, penampilan tabarruj yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Adalah sukses besar apabila ada lelaki yang selamat dari godaan wanita cantik, bukan karena si lelaki melihat tidak ada peluang ke arah sana atau situasi kondisi tidak mendukung, namun ia menolak karena takut kepada Allah Subhanahu wata’ala. Maka dari itu, keutamaan yang agung bagi Nabi Yusuf ‘alaihi salam saat beliau menolak ajakan berzina dari istri al-Aziz, pembesar Mesir, yang jatuh cinta kepadanya. Dalam posisi wanita itu bukan perempuan biasa dan beliau sendiri adalah seorang pemuda yang sedang mencapai puncak jiwa mudanya yang biasanya punya kecenderungan syahwat yang besar terhadap wanita, apatah lagi si wanita jelita telah berserah diri….
Karena itu, pantas sekali lelaki yang bisa berbuat demikian mendapatkan janji beroleh naungan pada hari kiamat, di saat tidak ada naungan selain naungan Allah Subhanahu wata’ala . Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“ Ada tujuh golongan yang Allah Subhanahu wata’alanaungi dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya. (Di antaranya) seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang punya kedudukan dan kecantikan namun ia menolak dengan berkata, “Aku takut kepada Allah Subhanahu wata’ala .” (HR. al-Bukhari no. 6806 dan Muslim no. 2377)
Menghadapi dahsyatnya fitnah wanita yang seakan mengepung kaum lelaki, ada beberapa cara yang bisa ditempuh agar kita selamat darinya dengan pertolongan Allah Subhanahu wata’ala 1, di antaranya:
1. Beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan takut kepada-Nya
Iman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan takut kepada-Nya merupakan tali kekang yang menahan seorang hamba dari berbuat haram dan menceburkan diri ke dalam lumpur hitam syahwat.
Apabila seorang mukmin tumbuh dengan merasakan pengawasan Allah Subhanahu wata’alaserta menelaah rahasia dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya seperti al-Alim (Maha Berilmu), as-Sami’ (Maha Mendengar), al-Bashir (Maha Melihat), ar-Raqib (Maha Mengawasi), asy-Syahid (Maha Mempersaksikan), al-Hasib (Maha Menghitung), al-Hafizh (Maha Menjaga), dan al-Muhith (Maha Meliputi), niscaya akan membuahkan rasa takut kepada-Nya dalam keadaan rahasia/tersembunyi ataupun terang-terangan di tengah banyak orang. Hal itu juga akan membuat si hamba berhenti dari berbuat maksiat, dan menghalangi dirinya menerima ajakan syahwat yang arah menuju kejelekannya demikian kuat.
2. Menundukkan pandangan dari melihat yang haram
Pandangan mata akan membuat lintasan-lintasan buruk di dalam hati, lalu betikan/lintasan tersebut meningkat menjadi pikiran, kemudian naik menjadi syahwat, lalu muncullah keinginan buruk. Bila bertambah kuat tanpa bisa dikendalikan, jatuhlah pelakunya ke dalam perbuatan yang haram.
Perhatikanlah ayat berikut ini, bagaimana Allah Subhanahu wata’ala menggandengkan pandangan mata kepada yang haram dengan penjagaan kemaluan.
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka….” (an-Nur: 30)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan, “Ini adalah perintah Allah Subhanahu wata’alakepada para hamba-Nya yang beriman agar menundukkan sebagian pandangan mata mereka dari hal yang diharamkan atas mereka, sehingga mereka tidak memandang selain sesuatu yang dibolehkan bagi mereka dan agar mereka menundukkan pandangan mereka dari hal yang haram. Apabila secara tidak sengaja pandangan mata jatuh pada yang haram, hendaklah ia segera memalingkannya.” (Tafsir Ibni Katsir, 5/396)
Jarir bin Abdillah al-Bajali z berkata, “Aku pernah menanyakan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka beliau memerintahkan aku agar memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim)
3. Menolak lintasan hati yang jelek
Perkara jelek yang terlintas dalam hati sungguh berbahaya. Ketika betikan itu datang pada seseorang lalu ia tidak berusaha menepisnya maka akan meningkat menjadi pikiran, lalu keinginan, selanjutnya tekad yang kuat, kemudian perbuatan yang haram.
Maka dari itu, berhati-hatilah membiarkan niatan jelek terlintas di hati. Seharusnya hal itu ditolak dan diganti dengan betikan hati yang baik.
Dengan demikian, cara mengobati bila muncul niatan yang buruk adalah dengan bersegera menepisnya dan menyibukkan jiwa dengan memikirkan hal yang bermanfaat baginya.
4. Menikah
Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Wahai sekalian pemuda! Siapa di antara kalian yang memiliki kemampuan, hendaknya dia menikah, karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, hendaknya dia berpuasa, karena puasa adalah tameng baginya….” (HR. al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 3384)
5. Berpuasa bagi yang belum mampu menikah
Ini berdasarkan hadits yang disebutkan di atas. Al-Imam al-Qurthubi t berkata, “Apabila sedikit makan, syahwat pun lemah. Apabila syahwat lemah, sedikitlah maksiat.”
6. Menjauh dari teman-teman yang buruk.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Seseorang itu sesuai dengan agama sahabatnya, maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat dengan siapa dia bersahabat.” (HR. Abu Dawud no. 4193, dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Oleh karena itu, seseorang harus pandai-pandai memilih teman dan hati-hati dalam bergaul. Jangan sampai ia berteman dengan seseorang yang akan menyeretnya ke dalam perbuatan dosa. Betapa banyak orang yang semula dikenal sebagai orang baik-baik, namun karena pengaruh teman, ia menjadi orang yang jelek.
7. Menjauh dari tempat-tempat godaan/cobaan
Tidak tersembunyi bagi kita bahwa sekarang ini kita hidup di tengah masyarakat yang dikepung oleh godaan dari segala arah, baik bersumber dari media massa, poster-poster di jalanan, iklan-iklan, wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang di hampir setiap tempat, produk-produk yang memajang gambar/model wanita; di bungkus sabun, kemasan shampo, pasta gigi, produk makanan dan minuman, dan sebagainya.
Oleh karena itu, berusahalah menjauh darinya agar selamat. Bagaimana caranya? Salah satunya seperti yang telah disebutkan di atas: menundukkan pandangan.
Wallahul musta’an, mohonlah pertolongan kepada Allah Subhanahu wata’aladari badai fitnah di sekeliling kita.
8. Bersemangat mengisi waktu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala
Waktu adalah nikmat yang sangat agung dari sekian nikmat Allah Subhanahu wata’alayang diberikan-Nya kepada para hamba. Akan tetapi, banyak orang yang melalaikannya. Ibnu Abbas c berkata bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Ada dua kenikmatan yang kebanyakan orang merugi (terhalang dari mendapat kebaikan dan pahala) di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari no. 6412)
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t menasihatkan, “Sepantasnya insan yang berakal memanfaatkan waktu sehat dan waktu luangnya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah k sesuai dengan kemampuannya. Jika ia dapat membaca al-Qur’an, hendaknya ia memperbanyak bacaannya. Apabila ia tidak pandai membacanya, hendaknya ia memperbanyak zikir kepada Allah Subhanahu wata’ala(sambil berusaha belajar membaca al-Qur’an tentunya, –pen.). Apabila tidak, ia melakukan amar ma’ruf nahi mungkar atau mencurahkan kemampuannya untuk membantu dan beramal kebaikan kepada saudara-saudaranya. Semua ini adalah kebaikan yang banyak, namun terluputkan dari kita.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 1/452)
9. Mengingat nikmat akhirat
Khususnya adalah mengingat kebaikan yang disiapkan oleh Allah Subhanahu wata’aladi surga kelak bagi insan beriman yang bersabar menjauhi maksiat, yaitu hurun ‘in (bidadari surga yang bermata jeli) dengan segala sifatnya yang sangat istimewa. Mereka tidak bisa dibandingkan sama sekali dengan perempuan-perempuan yang dilihatnya di dunia, secantik apa pun.
Semoga tulisan ini membantu seorang muslim untuk bersikap zuhud dari mengejar dan menceburkan diri ke dalam “nikmat dunia” yang fana lagi diharamkan, yang tidak mewariskan selain kerugian dan penyesalan.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber :
Kiat Menghadapi Ujian Wanita, Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 079
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Ishaq al-Atsariyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar